Artikel

Sejarah Kota Ende

Ende: Dari Kerajaan Tradisional Hingga Kota Pancasila

Awal Mula Ende

Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, Dalam sejarah kota Ende telah menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan yang dinamis di Pulau Flores. Wilayah ini diperintah oleh kepala suku atau Mosalaki, dengan Mosalaki Puu Ine Ame memegang otoritas tertinggi dalam pemerintahan dan kepercayaan. Ia dibantu oleh Ria Bewa yang bertindak sebagai hakim adat dan Mosalaki Tu Tego Taga Mido yang bertugas sebagai pengawas. Namun, keamanan Ende terganggu oleh aksi perompakan yang merajalela.

Sejarah Kota Ende
Ende Tahun 1930-an | Photo Credit: WIKIPEDIA

Asal usul nama Ende sendiri memiliki beberapa versi. Ada yang mengatakan berasal dari kata “cinde” yang berarti sejenis ular sawa, merujuk pada cerita lisan tentang ular ajaib di Gunung Meja atau Gunung Pui. Versi lain mengaitkan nama Ende dengan sebuah teluk atau pulau di pesisir utara, yang disebut dengan berbagai istilah seperti Ciendeh, Cinde, Kinde, dan Sinde. Kemungkinan lainnya adalah bahwa nama Ende berasal dari orang Eropa yang kesulitan melafalkan nama asli daerah tersebut.

Baca: Bagian Tumbuhan Beserta Fungsinya

Kedatangan Belanda dan Perubahan Pemerintahan

Belanda, dengan kekuatan militernya, berhasil mengatasi masalah perompakan, mendapatkan simpati dari para penguasa Ende. Pada tahun 1839, tujuh penguasa Ende menyatakan tunduk kepada Belanda, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Sistem pemerintahan tradisional pun bertransformasi menjadi sistem kerajaan, dengan raja dibantu oleh punggawa dan kapitan. Raja-raja di Ende memiliki kekuasaan yang terbatas, berbeda dengan raja-raja di Jawa yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas.

Pada masa ini, tercatat beberapa raja yang memimpin Ende, termasuk Jari Jawa (Husein Djajadiningrat) yang berjasa dalam perlawanan terhadap Portugis pada tahun 1630, serta Raja Indradewa (Lausuf Indradewa) yang berperan dalam pengembangan Islam di Ende dengan membangun Masjid Ar-Rabithah di depan istana kerajaan. Pada zamannya, Indradewa juga berusaha membangun komunikasi dengan penguasa Bima dan menggagas pembangunan istana kerajaan.

Perjanjian Lisabon dan Penguasaan Belanda

Persaingan antara Portugis dan Belanda berakhir dengan Perjanjian Lisabon pada tahun 1893, yang memberikan Belanda kekuasaan penuh atas wilayah Nusa Tenggara Timur, termasuk Ende. Belanda menerapkan kebijakan korte verklaring (kontrak pendek) untuk mengontrol para raja dan memonopoli perdagangan. Namun, keamanan Ende tetap terganggu oleh konflik internal, termasuk perang antara Raja Ende dengan masyarakat sekitarnya dan serangan dari raja-raja kecil di pedalaman. Salah satu konflik tersebut melibatkan Bhara Nuri yang berkuasa di Manu Nggoo, serta peperangan antara dua mosalaki dari Watusipi dan Nangaba pada tahun 1904. Tiga tahun kemudian, Ende diserang lagi oleh Raja Woloare di bawah pimpinan Mosalaki Rapo Oja.

Penyerangan

Untuk melancarkan politiknya, pemerintah kolonial mulai melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah pedalaman, yaitu pada tanggal 10 Juli 1907. Pada tanggal 10 Agustus 1907 Kapten Christoffel di Ende dan melakukan penyerangan terhadap musuh-musuh Raja Ende selama dua Minggu. Selama dua minggu Kapten Christoffel dengan mudahnya menaklukkan musuh-musuh raja Ende, seperti pasukan Rapo Odja dari Woloare, rakyat mosalaki Marilonga dari Watu Nggere, rakyat Ndori dan Lise, dan rakyat Watusipi. Setelah itu Kapten Christoffel juga melakukan penyerangan lagi ke arah Barat Flores, yaitu daerah Ngada dan Manggarai sampai tanggal 10 Desember 1907.

1 2 3 4 5Next page
Show More

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button